Pengaruh Terapi SEFT terhadap Penurunan Tingkat Stres pada Pasien HIV

Pasien HIV rentan mengalami stres. Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) merupakan terapi spiritual non-farmakologis untuk menurunkan stres. Penelitian ini memiliki tujuan menganalisis intervensi SEFT terhadap penurunan tingkat stres pada pasien HIV.
Terapi Seft Pada Pasien Hiv

Daftar Isi

Abstrak

Populasi Orang Hidup Dengan HIV (ODHIV) terus mengalami peningkatan. Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2022 merupakan provinsi dengan peringkat pertama terbanyak penderita HIV di Indonesia. Pasien HIV rentan mengalami stres.

Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) merupakan terapi spiritual non-farmakologis untuk menurunkan stres. Penelitian ini memiliki tujuan menganalisis intervensi SEFT  (Spiritual Emotional Freedom Technique) terhadap penurunan tingkat stres pada Ibu Rumah Tangga dengan HIV yang merawat anak pada keluarga Ny. N di Boyolali.

Pengukuran tingkat stres menggunakan kuesioner DASS-42 (Depression Anxiety Stress Scale) pada skala stres, yaitu sebanyak 14 item pertanyaan. Dalam menganalisis efek intervensi, dilakukan pengukuran tingkat stres sebelum dan sesudah dilakukan intervensi SEFT.

Sebelum terapi SEFT menunjukkan tingkat stres ringan dengan skor 18. Adapun setelah intervensi, tingkat stres Ny.N menurun dengan skor 10, yang menunjukkan tingkat stres normal. Dengan demikian, terapi SEFT terbukti dapat menurunkan tingkat stres. Terapi SEFT terbukti efektif dalam membantu keluarga yang memiliki anggota dengan HIV untuk mengelola dan menurunkan stres.

Pendahuluan

Populasi Orang Hidup Dengan HIV (ODHIV) di dunia terus mengalami peningkatan. UNAIDS pada tahun 2023 melaporkan bahwa jumlah ODHIV di dunia mencapai 39 juta orang, di mana sebelumnya berada di angka 38,4 juta (UNAIDS, 2023). Di Indonesia, Kementerian Kesehatan RI mencatat jumlah kasus HIV pada tahun 2023 mencapai 515.455 kasus. Di Provinsi Jawa Tengah, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah mencatat terdapat 2.882 kasus HIV di wilayahnya pada tahun 2023. Provinsi Jawa Tengah secara nasional merupakan provinsi dengan peringkat pertama terbanyak penderita HIV di Indonesia.

Orang dengan HIV (ODHIV) rentan mengalami stres yang berasal dari penyakitnya dan dampak psikososial. Studi menunjukkan mayoritas ODHIV mengalami stres. Dukungan keluarga, teman, dan terapi spiritual dapat membantu mereka merasa lebih nyaman dan membaik (Widayati et al., 2018).

Peran keluarga sangat memiliki peran dalam menurunkan tingkat stres pada penderita HIV. Penelitian Casale dan Wild menunjukkan bahwa dukungan sosial dan peran keluarga dapat memberikan dampak positif pada kesehatan mental penderita HIV (Sari & Wardani, 2017).

Survei lain yang dilakukan oleh Tahir di Makassar Indonesia menunjukkan bahwa ODHIV akan lebih menunjukkan kecendrungan terhadap kehidupan spiritual sebagai wujud dari menggantungkan harapan kepada Yang Maha Agung atas penyakit yang dideritanya. Hal ini meningkatkan quality of life pada ODHIV di saat mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, selain berusaha dengan melakukan terapi ARV secara rutin (Tahir, 2019).

SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) adalah terapi spiritual non-farmakologis yang dikembangkan oleh Ahmad Faiz Zainuddin dari metode EFT (Emotional Freedom Technique) yang diprakarsai Garcy Craig tahun 2005. Lima prinsip utama Spiritual Power dalam SEFT, yaitu ikhlas, yakin, syukur, sabar, dan khusyu, membantu individu mencapai ketenangan mental dan emosional (Astuti et al., 2015).

Penelitian Ardtiyani dan Permana, menyebutkan bahwa SEFT sebagai gabungan terapi spiritual dan stimulasi meridian tubuh membantu mengatasi masalah emosional dan fisik. Teknik ini menggunakan ketukan ringan (tapping) pada titik-titik meridian tubuh (titik syaraf) untuk menyeimbangkan energi dan meredakan berbagai keluhan (Ardtiyani et al., 2014).

Berdasarkan studi literatur, dilakukan studi pendahuluan melalui observasi dan wawancara kepada Ny.N yang dilaksanakan tanggal 09 Februari 2024 di kediamannyaenunjukkan gejala Ny.N mengalami stres disebabkan dampak penyakit HIV yang dideritanya. Tanda fisik menunjukkan wajah murung dan pucat, susah tidur, dan terdapat banyak ruam di bagian kulit tangan dan kaki.

Gejala stres tersebut diakuinya sering muncul, ditambah dengan perlakuan dari suaminya yang meninggalkan Ny.N beserta anaknya dan terpaksa dirinya harus mencari nafkah untuk anak. Selain itu, Ny.N mendapatkan perlakuan diskriminasi diasingkan oleh lingkungan sekitar ia tinggal yang membuatnya semakin mengalami stres.

Metode

Untuk mengukut tingkat stres digunakan kuesioner DASS-42 (Depression Anxiety Stress Scale) yang dikembangkan oleh Lovibond. S. H dan Lovibond. P. H pada instrumen skala stres, yaitu sebanyak 14 item pertanyaan (Sari & Wardani, 2017).

Tingkat stres digolongkan pada lima tingkat yaitu normal, ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Tingkat stres berdasarkan kuesioner DASS-42 (Depression Anxiety Stress Scale), diklasifikasikan menjadi 5 tingkat stres yaitu: (1) normal apabila skor 0 – 14; (2) ringan pada skor 15-18; (3) sedang pada skor 19-25; (4) berat pada skor 26-33; dan (5) sangat berat pada skor ≥34.

Untuk menganalisis penerapan intervensi SEFT terhadap penurunan tingkat stres, dilakukan dengan mengukur tingkat stres Ny.N sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Intervensi SEFT dilakukan sebanyak 4 kali. Pada hari terakhir intervensi diberikan kuesioner berisi pertanyaan mengenai stres untuk diisi sesuai dengan apa yang dirasakan setelah menjalani terapi SEFT.

Hasil dan Pembahasan

Intervensi terapi SEFT pada Ny.N sebagai pasien HIV dilakukan sebanyak 4 kali. Terapi SEFT dilakukan melalui tiga tahapan yaitu tahap the set-up, the tune-in dan the tapping, dan menekankan tumbuhnya sikap khusyu’, ikhlas, dan pasrah sebagai nilai-nilai spiritual utama dalam SEFT.

Pada tahap the set up, Ny.N diminta untuk menghilangkan pikiran negatif dalam dirinya seperti pikiran yang mau menyerah terhadap penyakit HIV yang dideritanya, tidak ada motivasi pada dirinya untuk berobat dan menjalani hidup, dan sebagainya. Apabila pikiran negatif seperti itu muncul, maka Ny.N diminta untuk berdoa dan pasrah kepada Tuhan sebanyak 3 kali dengan meletakkan telapak tangan ke dada.

Pada tahap the tune in, Ny.N diminta memasukkan rasa sakit dalam pikirannya, sambil mengucapkan: ”Ya Allah, meskipun saya merasa gelisah dan stres disebabkan penyakit HIV yang saya derita, adanya perlakuan yang tidak baik dari lingkungan sekitar, dan berbagai cobaan hidup yang saya alami (dan rasa sakit lain yang dirasakan), tetapi saya ikhlas menerima penyakit ini, dan saya pasrahkan kesembuhanku pada-Mu. Lalu membaca shalawat kepada Nabi Saw, allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad”.

Pada tahap the tapping, dilakukan ketukan ringan dengan dua ujung jari pada titik-titik tertentu di tubuh sebanyak kurang lebih 7 kali ketukan dengan sambil melakukan tune-in, yaitu merasakan rasa sakit di pikiran dan mengucapkan kepasrahan, ikhlas, dan khusyu kepada Allah SWT.

Pada hari terakhir intervensi, pasien diberikan kembali kuesioner DASS42 untuk diisi sesuai dengan apa yang dirasakan setelah menjalani terapi SEFT. Hasil jawaban para post-test kemudian dibandingkan dengan hasil pretest. Berikut adalah summary perbandingan tingkat stres Ny.N pada pre-test dan post-test:

Tabel 1 Perbandingan Tingkat Stres Ny.N pada saat sebelum (pre-test) dan sesudah (post-test) terapi SEFT

Inisial Nama

Pre-test

Post-test

Skor

Tingkat stres

Skor

Tingkat stres

Ny.N

18

Ringan

10

Normal

Berdasarkan Tabel 1, terapi SEFT terbukti dapat menurunkan tingkat stres pasien dengan penyakit HIV, khususnya pada kasus Ny.N. Hal ini dibuktikan dengan perolehan skor kuesioner DASS42, pada item pertanyaan tingkat stres, bahwa pada post-test (tes setelah menjalani terapi SEFT) menunjukkan tingkat stres menurun dengan skor 10, yang menunjukkan tingkat stres berada dalam kondisi normal. Hasil ini dibandingkan dengan skor pada pretest (tes sebelum menjalani terapi SEFT) di mana skor tingkat stres memperoleh nilai 18 yang menunjukkan pasien Ny.N mengalami stres ringan.

SEFT adalah salah satu bentuk terapi non-farmakologi penggabungan sistem energi tubuh dengan terapi spiritual dengan teknik tapping atau ketukan ringan pada titik-titik tertentu di tubuh. Prinsip kerja SEFT hampir sama dengan akupuntur dan akupresur, yaitu menstimulus titik-titik kunci jalur energi tubuh.

Metode ini sangat membantu pasien untuk merasakan keseimbangan dan hubungan dengan sebuah energi yang lebih besar, sehingga dapat memberikan manfaatnya dalam berbagai aspek, utamanya membantu pasien memperoleh kebutuhan spiritual dan mendapatkan respon relaksasi, mengaktifkan jalur neurologis dalam proses penyembuhan diri, menimbulkan rasa percaya diri, dan merasakan kehadiran Allah SWT. Semakin tinggi tingkat spiritual ODHIV, akan semakin besar ketergantungannya terhadap Tuhan.

Hasil penelitian ini berada pada posisi mendukung teori. Metode terapi SEFT terbukti memiliki dampak positif terhadap penurunan tingkat stres (Astuti et al., 2015). Penelitian pun memperkuat teori yang dikemukakan Zainuddin dalam Nurjanah, et.al, bahwa tujuan terapi SEFT adalah untuk membantu orang lain baik individual maupun kelompok dalam mengurangi penderitaan psikis maupun fisik (Nurjanah, et.al., 2022).

Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Asmawati, et al, (2020), bahwa SEFT memberikan perubahan emosi dari pengaruh doa. Dampaknya memberikan perubahan drastis yang bersifat emosional dan fisik (Asmawati et al., 2020).

Penelitian ini pun memiliki kesesuaian dengan hasil penelitian Ardtiyani, et.al (2014), bahwa teknik SEFT menggabungkan sistem energi tubuh dan terapi spiritual yang digunakan sebagai salah satu teknik terapi untuk mengatasi masalah emosional dan fisik. Spiritual dalam SEFT adalah doa yang diafirmasikan oleh klien pada saat akan dimulai hingga sesi terapi berakhir.

Penelitian di Kecamatan Boyolali ini pun mendukung survei yang dilakukan oleh Tahir di Makassar yang menunjukkan bahwa ODHIV akan lebih menunjukkan kecendrungan terhadap kehidupan spiritual sebagai wujud dari menggantungkan harapan kepada Yang Maha Agung atas penyakit yang dideritanya. Hal ini meningkatkan quality of life pada ODHIV di saat mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, selain berusaha dengan melakukan terapi ARV secara rutin (Tahir, 2019).

Simpulan

Terapi SEFT terbukti dapat menurunkan tingkat stres. Pengobatan HIV dapat dilakukan melalui pengobatan medis, misalnya dengan obat ARV dan juga dari aspek psikisnya dapat menggunakan metode SEFT.

Terapi SEFT terbukti efektif dalam membantu keluarga yang memiliki anggota dengan HIV untuk mengelola dan menurunkan stres. Hal ini dapat meningkatkan kualitas hidup keluarga secara keseluruhan dan memperkuat hubungan antar anggota keluarga.

Perawat dapat menggunakan terapi SEFT sebagai intervensi komplementer dalam asuhan keperawatan keluarga untuk membantu keluarga mencapai tujuan perawatannya. Selain itu terapi SEFT dapat dijadikan sebagai langkah preventif dan promotif bagi pasien-pasien yang menderita penyakut kronis dan berpotensi mengalami stres.

Penelitian ini terbatas pada kasus Ny.N sebagai pasien HIV yang merawat anak di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali, sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui efektivitasnya dalam berbagai konteks dan populasi.

Daftar Pustaka

Ardtiyani, M. F., Galindra, D., & Permana, R. (2014). Penyuluhan Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) sebagai Solusi Kesehatan pPada Warga Dusun Babadan, Selomirah, Ngablak, Magelang, Jawa Tengah. Jurnal Inovasi dan Kewirausahaan, 3 (3), 201-205.

Asmawati, Ikhlasia, M., & Panduragan, S. L. (2020). The effect of Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT) therapy on the anxiety of NAPZA (narcotics, psychotropic, and other addictive substances) residents. Enfermeria Clinica, 30, 206–208. DOI: https://doi.org/10.1016/j.enfcli.2019.11.055

Astuti, R., Yosep, I., & Susanti, R. D. (2015). Pengaruh Intervensi SEFT (Spiritual Emotional Freedom Technique) terhadap Penurunan Tingkat Depresi Ibu Rumah Tangga dengan HIV. In Jurnal Keperawatan Padjadjaran (Vol. 3).

Nurjanah, Dian Siti, et.al (2022). Terapi SEFT: Spiritual Emotional Freedom Technique untuk Melepaskan Emosi Negatif pada Remaja. Bandung: Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati.

Sari, Y. K., & Wardani, I. Y. (2017). Dukungan Sosial Dan Tingkat Stres Orang Dengan HIV/AIDS. Jurnal Keperawatan Indonesia, 20(2), 85–93. DOI: https://doi.org/10.7454/jki.v20i2.361

Tahir, Yusuf, et.al. (2019). Pengembangan Model Self Care Pada Surviver HIV/AIDS Di Rumah  Singgah Ballatta Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Pencerah, 10 (1), 90-98. DOI: https:// doi.org/10.12345/jikp.v10i1.209

UNAIDS (2023). “Fact Sheet Global HIV Statistics”. https://www.unaids.org/sites/ default/files/media_asset/UNAIDS_FactSheet_en.pdf

Widayati, D., Hayati, F., & Chotijah, N. (2018). Family Acceptance Dan Tingkat Stres Pasien HIV. Jurnal Keperawatan Respati Yogyakarta, 5(2), 364–369.

Ikuti artikel Konseling HIV di Google News, klik di Sini.

Bagikan artikel

Subscribe To Our Newsletter

Dapatkan Update Artikel Terkini Via Email

Artikel terkait

Sifilis
IMS

Cara Mengobati Penyakit Sifilis: Panduan Lengkap

Antibiotik adalah satu-satunya pengobatan efektif untuk sifilis. Jenis antibiotik yang diberikan akan disesuaikan dengan stadium penyakit dan kondisi pasien. Penisilin adalah antibiotik yang paling sering digunakan.

Konsultasikan Tentang HIV Dan IMS Bersama Konselor Terlatih dan Bersertifikat

Konsultasi via WhatsApp dan Telepon

Konselor