Etiologi
Etiologi adalah studi tentang penyebab penyakit. Ini mencakup faktor-faktor yang berkontribusi terhadap perkembangan suatu penyakit.
Etiologi HIV-AIDS adalah Human Immunodefisiensi virus (HIV) yang merupakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam family retroviridae, subfamili lentiviridae, genus lentivirus.
Berdasarkan strukturnya HIV termasuk family retrovirus yang merupakan kelompok virus RNA yang mempunyai berat molekul 0,7 kb (kilobase). Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai berbagai subtipe. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1.
Patofisiologi
Patofisiologi adalah studi tentang proses biologis yang abnormal yang terjadi dalam tubuh ketika seseorang menderita penyakit. Ini melibatkan pemahaman tentang bagaimana penyakit mengubah fungsi normal organ dan jaringan.
Tubuh mempunyai suatu mekanisme untuk membasmi suatu infeksi dari benda asing, misalnya: virus, bakteri, bahan kimia, dan jaringan asing dari binatang maupun manusia lain. Mekanisme ini disebut sebagai tanggap kebal (immune response) yang terdiri dari 2 proses yang kompleks yaitu: Kekebalan humoral dan kekebalan cell-mediated. Virus AIDS (HIV) mempunyai cara tersendiri sehingga dapat menghindari mekanisme pertahanan tubuh (Edison & Waluyo, 2021).
HIV dapat memasuki tubuh melalui beberapa cara. Paparan benda tajam yang terkontaminasi HIV, seperti jarum suntik, dapat langsung memasukkan virus ke dalam aliran darah. Virus dapat masuk melalui membran mukosa di mata, mulut, rektum, atau vagina. Gejala Awal HIV di antaranya dapat terlihat pada 4 hingga 11 hari setelah terpapar, di mana virus dapat dideteksi dalam darah. Ditandai oleh adanya demam tinggi, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri otot, mual, muntah, insomnia, batuk, pilek, dan lainnya.
Sindrom retroviral akut adalah nama untuk kumpulan gejala awal HIV. Seiring waktu, virus HIV menyerang sel CD4, yang merupakan bagian penting dari sistem kekebalan tubuh. Hal ini menyebabkan penurunan jumlah CD4. Jumlah virus HIV dalam darah, yang disebut viral load, meningkat pada awal infeksi. Pada titik tertentu, viral load akan turun, tetapi tidak sepenuhnya hilang. Pada 1,5 hingga 2,5 tahun sebelum AIDS, penurunan CD4 terjadi lebih cepat.
Ketika jumlah CD4 sangat rendah, sistem kekebalan tubuh menjadi sangat lemah, dan individu memasuki stadium AIDS. Tidak semua orang yang terpapar HIV akan mengalami semua gejala ini. Beberapa orang mungkin tidak mengalami gejala sama sekali, sedangkan yang lain mungkin mengalami gejala yang lebih parah (Nasronudin, 2020).
Setelah memasuki tubuh, HIV mencari sel target untuk menginfeksi. Sel target HIV memiliki reseptor CD4 di permukaannya, seperti limfosit T, monosit makrofag, sel Langerhans, sel dendrit, astrosit, dan mikroglia. Proses infeksi dan replikasi HIV melalui beberapa tahapan.
Setelah masuk ke dalam sel target, HIV melepaskan single strand RNA (ssRNA). Enzim reverse transcriptase menggunakan RNA sebagai cetakan untuk mensintesis DNA. Mikroorganisme lain yang memicu infeksi sekunder, seperti bakteri, virus, jamur, dan protozoa, dapat memengaruhi replikasi HIV. Virus non-HIV, terutama virus DNA, memiliki pengaruh terbesar dalam mempercepat replikasi HIV. Inti virus baru yang lengkap dan matang keluar dari sel yang terinfeksi dan siap untuk menginfeksi sel target berikutnya. HIV mampu melakukan replikasi hingga mencapai 109 – 1011 virus baru dalam sehari.
Konsekuensi dari replikasi HIV adalah penurunan Sel CD4. Replikasi HIV yang cepat menyebabkan kerusakan dan kematian sel CD4, melemahkan sistem kekebalan tubuh. Penurunan CD4 yang signifikan menandakan perkembangan AIDS, di mana individu menjadi sangat rentan terhadap berbagai penyakit (Nasronudin, 2020).
Semakin rendah jumlah CD4, semakin lemah sistem kekebalan tubuh. Penurunan CD4 di bawah 200 menunjukkan sistem kekebalan tubuh yang sangat lemah dan berisiko tinggi terkena infeksi oportunistik, yaitu infeksi yang biasanya tidak menyerang orang dengan sistem kekebalan tubuh yang sehat. Ketika CD4 turun ke tingkat yang sangat rendah, individu memasuki stadium AIDS, di mana infeksi oportunistik menjadi lebih parah dan mengancam jiwa.
Pengobatan ARV dapat membantu mengendalikan virus HIV dan mencegah kerusakan lebih lanjut pada sel CD4. Dengan pengobatan ARV yang efektif, jumlah CD4 dapat meningkat, memperkuat sistem kekebalan tubuh dan mengurangi risiko infeksi oportunistik. Jika pengobatan HIV tidak dijalani dengan benar, virus akan terus berkembang biak dan merusak sel CD4, melemahkan sistem kekebalan tubuh lebih lanjut.
Sistem kekebalan tubuh yang lemah membuat individu lebih rentan terhadap infeksi sekunder, seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit. Tanpa pengobatan yang tepat, HIV dapat berkembang menjadi AIDS, dengan konsekuensi kesehatan yang serius dan berpotensi fatal (Nasronudin, 2020).
Pathway
Pustaka
Edison, C., & Waluyo, A. (2021). Pengalaman Aktivitas Spiritual pada Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam Menjalani Proses Penyakitnya. Faletehan Health Journal, 8(3), 216–222. www.journal.lppm-stikesfa.ac.id/ojs/index.php/FHJ.
Nasronudin., (2020), HIV&AIDS Pendekatan Biologi Molekuler, Klinis, dan Sosial. Edited by J. Barakbah. Airlangga University Press.
—
Ikuti artikel Konseling HIV di Google News, klik di Sini.