Dampak Psikologis HIV terhadap Stres dan Peran Terapi Spiritual

Penyakit merupakan salah satu stressor psikososial yang dapat memberikan dampak signifikan bagi individu. HIV/AIDS adalah penyakit (medical illness) yang memerlukan pendekatan dari segi psiko-sosio-spiritual.
Dampak Psikologis

Daftar Isi

Menurut Hawari (Hidayanti, 2013), penyakit merupakan salah satu stressor psikososial yang dapat memberikan dampak signifikan bagi individu. Ketika tubuh terserang penyakit, individu dituntut untuk beradaptasi dan melewati berbagai fase dalam proses pemulihan. Hal ini dapat menjadi beban mental dan emosional, terutama bagi mereka yang mengidap penyakit kronis.

HIV/AIDS adalah penyakit (medical illness) yang memerlukan pendekatan dari segi psiko-sosio-spiritual, dan bukan dari segi klinis semata. Penderita HIV akan mengalami krisis afektif pada dirinya, pada keluarganya, pada orang yang dicintainya dan pada masyarakat. Krisis tersebut adalah dalam bentuk kepanikan, ketakutan, kecemasan, serba ketidakpastian, keputusasaan, dan stigma. Perlakuan terhadap penderita AIDS seringkali bersifat destruktif, dan resiko bunuh diri pada penderita cukup tinggi.

Sebuah studi oleh Bagian Psikiatri Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo Jakarta (2020) mengungkapkan realitas yang mengkhawatirkan: pasien HIV/AIDS memiliki risiko tinggi untuk bunuh diri. Hasil penelitian ini selaras dengan temuan di berbagai negara lain. Studi ini menunjukkan bahwa sekitar sepertiga pasien HIV/AIDS pernah mempertimbangkan untuk mengakhiri hidup mereka dengan bantuan tenaga medis.

Temuan penelitian ini didukung oleh beberapa fakta penting tentang dampak psikologis HIV/AIDS. Prevalensi stres dan depresi pada pasien HIV/AIDS dua kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Pada pasien yang dirawat di rumah sakit, angka stres bahkan lebih tinggi lagi, mencapai sekitar 40%. Hal ini menunjukkan bahwa HIV/AIDS dapat memberikan beban psikologis yang signifikan. Pasien HIV/AIDS dapat mengalami berbagai jenis gangguan stres dan kecemasan, mulai dari kecemasan rendah hingga gangguan panik yang lebih parah.

Gangguan stres akut juga umum terjadi pada pasien ini, yang merupakan respons emosional terhadap diagnosis dan stigma yang terkait dengan HIV/AIDS. Penyakit HIV dapat mengganggu mekanisme pertahanan dan penyesuaian diri (coping) individu. Pasien mungkin mengalami kesulitan dalam menerima diagnosis, mengelola stres, dan menghadapi stigma dan diskriminasi. Hal ini dapat memperburuk kondisi mental dan emosional mereka (Tempo, 2022).

Temuan penelitian ini menguak realitas pahit bagi para pengidap HIV/AIDS. Di balik penyakitnya, mereka dihadapkan pada stres psikologis yang luar biasa dan problem sosial yang kompleks. Masyarakat, sayangnya, masih banyak yang memandang HIV/AIDS dengan rasa takut dan stigma negatif. Hal ini membuat para pengidapnya semakin tertekan dan terisolasi.

Diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan, seperti kesehatan, ekonomi, dan pendidikan, semakin memperparah kondisi mereka. Awalnya, penyakit itu sendiri menjadi sumber stres utama bagi para pengidap HIV/AIDS. Namun, ketidakpahaman masyarakat dan stigma negatif melahirkan stres baru yang tak kalah berat. Lingkaran setan ini terus berputar, memperburuk kondisi mental dan fisik mereka (Tempo, 2022).

Beberapa fakta membuktikan bahwa penularan HIV/AIDS pada perempuan dapat terjadi melalui berbagai cara, seperti hubungan seks bebas, penularan dari pasangan, penggunaan jarum suntik terkontaminasi, dan kekerasan seksual/ pemerkosaan. Mendapatkan diagnosis HIV/AIDS dapat menjadi pengalaman yang sangat traumatis bagi siapa saja, termasuk perempuan. Hal ini dapat memicu berbagai reaksi emosional, seperti syok, marah, depresi, dan bahkan upaya bunuh diri (Kubler Ross, 2004 dalam Hidayanti, 2013).

Teori Kubler Ross menjelaskan bahwa individu yang dihadapkan pada penyakit kronis akan melalui beberapa fase emosional, yaitu menyangkal diagnosis dan berusaha untuk tidak mempercayainya, merasa marah dan frustrasi terhadap diri sendiri, orang lain, atau dunia secara umum, dan berusaha untuk memahami penyakit dan mencari informasi tentang pengobatan dan dukungan.

Selain itu, muncul stres dan kekhawatiran tentang masa depan, merasa sedih, putus asa, dan kehilangan harapan. Selanjutnya, tahap menerima kenyataan dan mulai beradaptasi dengan kondisi baru. Perempuan yang terinfeksi HIV/AIDS membutuhkan dukungan dan pemahaman dari berbagai pihak, termasuk keluarga, teman, tenaga kesehatan, dan komunitas (Jawa Pos, 2023).

Kondisi psikologis di atas tidak bisa diabaikan begitu saja sampai akhirnya seseorang sampai pada tahap penerimaan diri terhadap kondisinya. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa terdapat dinamika psikologis yang dihadapi para perempuan dengan HIV/AIDS dengan beragam latar belakang penularan serta bagaimana mereka mampu keluar dari beban psikologis yang sangat menekan dan akhirnya mampu bertahan hidup dengan statusnya sebagai ODHIV (Burhan, 2014).

Secara umum perempuan yang tertular HIV/AIDS dari suami akan merasakan kaget yang luar biasa. Ibarat mereka mendapatkan vonis mati, bahkan terasa dunia bagai mau kiamat. Terlebih lagi mereka yang dinyatakan positif bukan pengguna narkoba atau berperilaku seks bebas. Seseorang yang mendapat sebutan ODHIV akibat tertular tanpa sengaja, rasanya jauh lebih menyakitkan (Hidayanti, 2013).

Berbagai penelitian membuktikan bahwa kekebalan tubuh ODHIV sangat dipengaruhi oleh psikologi positif dan komitmen agama seseorang. Hal ini sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Woods (Hidayanti, 2013) dari University of Miami untuk mengetahui hubungan antara fungsi kekebalan tubuh pada pasien HIV positif dengan komitmen agama. Pasien yang aktif menjalankan peribadatan keagamaan menunjukkan jumlah CD4 dan presentase CD4 meningkat, yang berarti bahwa sistem kekebalan tubuh berjalan dengan baik. Dengan demikian progresivitas penyakit dapat dihambat sehingga umur pasien menjadi lebih panjang.

Sementara bagi ODHIV yang mengambil strategi koping yang negatif akan membuat kondisi tubuh semakin lemah. Secara teoritis stres akan menyebabkan imun alami tubuh menurun sehingga seseorang mudah terserang penyakit. Apalagi bagi ODHIV yang imun tubuhnya telah digerogoti virus HIV yang terus-menerus menyerang fungsi kekebalan tubuh manusia. Tentunya stres yang diderita akan semakin melemahkan kondisinya. Bila seseorang yang terinfeksi HIV/AIDS tidak segera membangun strategi koping stres yang positif, maka kondisi imun yang semakin lemah akan memperpendek usia hidupnya (Burhan, 2014).

Dalam kondisi di mana seorang perempuan terkena HIV, disarankan untuk menjalani gaya hidup sehat seperti makan makanan yang sehat, tidur yang cukup, mempunyai hobi dan aktivitas rutin, mendekatkan diri kepada Tuhan serta relaksasi. Selain itu, ODHIV dianjurkan mencari kelompok pendukung (social support sytems) sebagai tempat mengeluarkan unek-unek dan bila perlu tempat menangis. Namun lebih dari itu ODHA bisa memberikan manfaat bagi orang lain yang memiliki penyakit yang sama (Hidayanti, 2013).

Penelitian lain dilakukan Fauk, et,al (2023) menemukan bahwa keluarga dan aspek spiritual pada agama digunakan oleh ibu dengan HIV yang membesarkan anak untuk mengatasi tantangan kesehatan mental dan dalam menghadapi hidup dengan HIV yang dialami. Makna hubungan ibu-anak melalui penyediaan waktu, perhatian dan pemenuhan kebutuhan juga merupakan strategi koping stres yang digunakan oleh para wanita dengan HIV dalam membesarkan anaknya. Temuan ini adalah bukti bermanfaat yang dapat menginformasikan perlunya pengembangan program intervensi yang memenuhi kebutuhan keluarga untuk mengatasi tantangan terkait HIV pada anak-anak.

Pustaka

Burhan, Riri F, (2014), “Gambaran Kebermaknaan Hidup Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) serta Tinjauannya Menurut Islam”,  Jurnal Psikogenesis. Vol. 2, No. 2.

Fauk, N. K., Gesesew, H. A., Mwanri, L., Hawke, K., Merry, M. S., Asa, G. A., & Ward, P. R. (2023). Understanding coping strategies of mothers living with HIV who care for children living with HIV: a qualitative study in Indonesia. BMC Women’s Health, 23(1). https://doi.org/10.1186/s12905-023-02299-y

Hidayanti, E., (2013). “Strategi Coping Stress Perempuan dengan HIV/AIDS. Sawwa: Jurnal Studi Gender, Vol 9, No 1 DOI: 10.21580/sa.v9i1.667.

Jawa Post, (2017), “Psikologis Berperan Penting untuk Penderita HIV/AIDS”.

Tempo, (2022). “Mental Baja Melawan Stigma”, Oktober 2022.

Ikuti artikel Konseling HIV di Google News, klik di Sini.

Bagikan artikel

Subscribe To Our Newsletter

Dapatkan Update Artikel Terkini Via Email

Artikel terkait

Sifilis
IMS

Cara Mengobati Penyakit Sifilis: Panduan Lengkap

Antibiotik adalah satu-satunya pengobatan efektif untuk sifilis. Jenis antibiotik yang diberikan akan disesuaikan dengan stadium penyakit dan kondisi pasien. Penisilin adalah antibiotik yang paling sering digunakan.

Konsultasikan Tentang HIV Dan IMS Bersama Konselor Terlatih dan Bersertifikat

Konsultasi via WhatsApp dan Telepon

Konselor